Ikut Hilang
Keledai milik Nashrudin hilang entah kemana.
Nashrudin segera mencarinya kesana-kemari, namun tak juga menemukannya.
Akan tetapi, Nashrudin malah memuji Allah sehingga orang-orang bertanya padanya, “Mengapa engkau bersyukur?”
Nashrudin menjawab, “ Aku tidak menaiki keledaiku. Andaikata aku menaikinya, niscaya aku ikut hilang bersamanya.”
Belajar Kebijaksanaan
Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nashrudin. Nashrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nashrudin dan melihat perilakunya.
Malam itu Nashrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nashrudin.
Setelah api besar, Nashrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nashrudin menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sopnya.
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nashrudin.
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
Ah, konsistensi.
Cara Menolong Orang Yang Kikir
Pada suatu hari, bersama beberapa temannya, Nashrudin berwisata ke sebuah hutan. Bersama mereka, ikut juga seorang kaya-raya yang terkenal kikir. Setelah makan, mereka naik perahu di sebuah telaga yang lumayan besar. Tanpa disengaja, si orang kaya yang kikir tergelincir dari perahu hingga tercebur ke dalam telaga dan nyaris tenggelam karena ia tak bisa berenang.
Teman-teman Nashrudin saling berlomba untuk menyelamatkan orang kaya itu dan berseru, "Berikan tanganmu! Berikan tanganmu!" Tapi, meski sudah diteriaki berulang kali dan hampir tenggelam, orang itu tetap tak mau juga mengulurkan tangannya.
Nashrudin melihat hal ini dan menyuruh teman-temannya minggir, "Menyingkirlah kalian karena kalian tak tahu cara menolongnya. Ia nyaris tenggelam dan tak mendengar ucapan kita. Orang pelit tidak pernah mengenal kata 'memberi', tapi mereka biasa memakai kata 'mengambil'. Lihatlah caraku menolong orang ini."
Maka Nashrudin mendekat ke arah orang kaya yang sedang megap-megap tersebut dan berkata, "Tuan Bakar Afandi, Ambillah tanganku! Cepat, ambil tanganku!" Seketika itu juga si orang kaya meraih tangan Nashrudin, dan berkata, "Semoga Allah meridhoimu, wahai saudaraku!" Lalu Nashrudin menarik orang itu dan akhirnya berhasil menyelamatkannya.
Cara Membaca Buku
Nashrudin segera mencarinya kesana-kemari, namun tak juga menemukannya.
Akan tetapi, Nashrudin malah memuji Allah sehingga orang-orang bertanya padanya, “Mengapa engkau bersyukur?”
Nashrudin menjawab, “ Aku tidak menaiki keledaiku. Andaikata aku menaikinya, niscaya aku ikut hilang bersamanya.”
Belajar Kebijaksanaan
Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nashrudin. Nashrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nashrudin dan melihat perilakunya.
Malam itu Nashrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nashrudin.
Setelah api besar, Nashrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nashrudin menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sopnya.
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nashrudin.
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
Ah, konsistensi.
Cara Menolong Orang Yang Kikir
Pada suatu hari, bersama beberapa temannya, Nashrudin berwisata ke sebuah hutan. Bersama mereka, ikut juga seorang kaya-raya yang terkenal kikir. Setelah makan, mereka naik perahu di sebuah telaga yang lumayan besar. Tanpa disengaja, si orang kaya yang kikir tergelincir dari perahu hingga tercebur ke dalam telaga dan nyaris tenggelam karena ia tak bisa berenang.
Teman-teman Nashrudin saling berlomba untuk menyelamatkan orang kaya itu dan berseru, "Berikan tanganmu! Berikan tanganmu!" Tapi, meski sudah diteriaki berulang kali dan hampir tenggelam, orang itu tetap tak mau juga mengulurkan tangannya.
Nashrudin melihat hal ini dan menyuruh teman-temannya minggir, "Menyingkirlah kalian karena kalian tak tahu cara menolongnya. Ia nyaris tenggelam dan tak mendengar ucapan kita. Orang pelit tidak pernah mengenal kata 'memberi', tapi mereka biasa memakai kata 'mengambil'. Lihatlah caraku menolong orang ini."
Maka Nashrudin mendekat ke arah orang kaya yang sedang megap-megap tersebut dan berkata, "Tuan Bakar Afandi, Ambillah tanganku! Cepat, ambil tanganku!" Seketika itu juga si orang kaya meraih tangan Nashrudin, dan berkata, "Semoga Allah meridhoimu, wahai saudaraku!" Lalu Nashrudin menarik orang itu dan akhirnya berhasil menyelamatkannya.
Cara Membaca Buku
Seorang yang filosof dogmatis sedang menyampaikan ceramah. Nashrudin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nashrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nashrudin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
"Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!"
"Aku tahu," jawab Nashrudin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."
Gelar Timur Lenk
Timur Lenk mulai mempercayai Nashrudin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.
"Nashrudin," katanya suatu hari, "Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil 'Alallah, Al-Mu'tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku ?"
Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Nashrudin menemukan jawabannya. "Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja."
* "Aku berlindung kepada Allah (darinya)"
Harga Kebenaran
Seperti biasanya, Nashrudin memberikan pengajaran di mimbar. "Kebenaran," ujarnya "adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material."
Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?"
"Kalau engkau perhatikan," sahut Nashrudin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."
Bersembunyi
Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nashrudin. Kabetulan Nashrudin sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja, Nashrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nashrudin yang bersembunyi.
"Aha!" kata si pencuri, "Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?"
"Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."
Keadilan Dan Kelaliman
Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundangi para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang sama:
"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."
Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Nashrudin diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Nashrudin yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh :
"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."
Dan dengan menenangkan diri, Nashrudin menjawab :
"Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami."
Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.
Keledai Membaca
Timur Lenk menghadiahi Nashrudin seekor keledai. Nashrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,
"Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."
Nashrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nashrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nashrudin.
"Demikianlah," kata Nashrudin, "Keledaiku sudah bisa membaca."
Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?"
Nashrudin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar."
"Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?"
Nashrudin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?"
Rumah Reyot Bersujud
Suatu hari Nashrudin pergi ke sebuah kota. Nashrudin menginap di sebuah penginapan tua di kota itu. Penginapan itu reyot dan banyak kayu-kayunya yang sudah lapuk.
Pada hari kedua Nashrudin berkata kepada pemilik penginapan, “Pak, sepanjang malam saya mendengar suara gemeretak di atas kamar tempat saya menginap. Barangkali anda bersedia memanggil seorang tukang kayu untuk memeriksa bagian atap kamar.”
Tetapi karena gengsi, sang pemilik penginapan berkata, “Penginapan ini sangat kokoh, tak mungkin roboh! Sedangkan yang kau dengar itu adalah suara tasbih dan tahlil kepada Allah yang dibaca oleh semua yang ada.”
Maka Nashrudin berkata, “Anda benar. Tetapi yang aku takutkan adalah bila kayu-kayu itu bertasbih dan bertahlil tanpa henti, lalu hati mereka menjadi terhanyut, kemudian mereka akan segera bersujud tanpa henti.”
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nashrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nashrudin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
"Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!"
"Aku tahu," jawab Nashrudin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."
Gelar Timur Lenk
Timur Lenk mulai mempercayai Nashrudin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.
"Nashrudin," katanya suatu hari, "Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil 'Alallah, Al-Mu'tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku ?"
Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Nashrudin menemukan jawabannya. "Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja."
* "Aku berlindung kepada Allah (darinya)"
Harga Kebenaran
Seperti biasanya, Nashrudin memberikan pengajaran di mimbar. "Kebenaran," ujarnya "adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material."
Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?"
"Kalau engkau perhatikan," sahut Nashrudin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."
Bersembunyi
Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nashrudin. Kabetulan Nashrudin sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja, Nashrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nashrudin yang bersembunyi.
"Aha!" kata si pencuri, "Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?"
"Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."
Keadilan Dan Kelaliman
Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundangi para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang sama:
"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."
Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Nashrudin diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Nashrudin yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh :
"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."
Dan dengan menenangkan diri, Nashrudin menjawab :
"Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami."
Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.
Keledai Membaca
Timur Lenk menghadiahi Nashrudin seekor keledai. Nashrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,
"Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."
Nashrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nashrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nashrudin.
"Demikianlah," kata Nashrudin, "Keledaiku sudah bisa membaca."
Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?"
Nashrudin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar."
"Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?"
Nashrudin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?"
Rumah Reyot Bersujud
Suatu hari Nashrudin pergi ke sebuah kota. Nashrudin menginap di sebuah penginapan tua di kota itu. Penginapan itu reyot dan banyak kayu-kayunya yang sudah lapuk.
Pada hari kedua Nashrudin berkata kepada pemilik penginapan, “Pak, sepanjang malam saya mendengar suara gemeretak di atas kamar tempat saya menginap. Barangkali anda bersedia memanggil seorang tukang kayu untuk memeriksa bagian atap kamar.”
Tetapi karena gengsi, sang pemilik penginapan berkata, “Penginapan ini sangat kokoh, tak mungkin roboh! Sedangkan yang kau dengar itu adalah suara tasbih dan tahlil kepada Allah yang dibaca oleh semua yang ada.”
Maka Nashrudin berkata, “Anda benar. Tetapi yang aku takutkan adalah bila kayu-kayu itu bertasbih dan bertahlil tanpa henti, lalu hati mereka menjadi terhanyut, kemudian mereka akan segera bersujud tanpa henti.”
Labels:
SELINGAN
Thanks for reading Kumpulan Humor Nashrudin 1. Please share...!
lumayan lucu kawan lanjutkan update donk hehheheheh
BalasHapus