SENAM WAITANKUNG (Bag-1)
Disalin Oleh : NiniekSS
Bismillahirrahmanirrahiim...
Sahabat NiniekSS dimanapun Anda Berada...
Kali ini saya ingin membagikan artikel yang menarik ini yang saya salin dari majalah.tempointeraktif.com, karena sangat bermanfaat bagi kita semua.
EEENGGGG, hah. Maka, waitankung, senam jenis baru dari Cina yang akhir-akhir ini muncul di seluruh dunia - kata orang, melalui Taiwan - pun jadi kegemaran baru.
Di lapangan Monas, di lapangan Senayan, di Gubernuran DKI Jakarta, di kawasan perumahan Pondok Indah, Jakarta, dan sejumlah tempat lain - juga di Bandung dan Surabaya - teriakan pembukaan yang dilakukan sambil mempertemukan kedua tangan di atas kepala hingga lengan membentuk bulat telur itu bergema memecah pagi.
Waitankung?
Inilah nama baru, sejenis dengan senam-senam yang ada hubungannya dengan kungfu. Yang telah populer, umpamanya, taichi-chuan, yang biasanya mengingatkan orang pada kungfu Shaolin (tapi banyak yang mengatakan, taichi asalnya dari kungfu Tao). Bila kungfu melatih kekuatan otot, taichi sebaliknya: kelembutan gerak tanpa kekuatan adalah intinya.
Konon, latihan-latihan tanpa kekuatan itulah yang melatih tenaga dalam seseorang. Diduga, munculnya latihan silat Cina dengan gerakan lembut itu erat hubungannya dengan lahirnya ajaran Taoisme, sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi. Memang agak susah dilacak, karena buku-buku atau catatan tentang latihan-latihan gerak lembut dari masa lampau itu tak lagi ditemukan.
Sebagian orang bilang, para pendeta Budha dari Biara Shaolin, pada waktu itu, mulai berpikir tak layak bagi pemuka agama berlatih kungfu dengan tenaga kasar. Sebagian lagi mengatakan, gawatnya situasi waktu itu mengharuskan para pendeta itu tetap punya ilmu bela diri yang memadai. Tapi uzurnya fisik, mau tak mau, melemahkan tenaga mereka pula. Maka, dicarilah ilmu yang sesuai dengan tenaga tua tapi tetap sakti . Lalu dikembangkanlah ilmu yang tak berkaitan dengan masalah latihan otot.
Titik tolaknya adalah falsafah air, yang tak bisa dirusakkan dengan sabetan pedang ataupun pukulan tinju. Atau ilmu kapas, yang membuat pukulan sekeras apa pun tiada gunanya. Bila Tao diduga mendasari ilmu tanpa tenaga ini, dalam Tao memang ada yang disebut wuwei. Arti harfiahnya, "tak mengerjakan apa pun" yaitu, untuk memelihara alam semesta ini, manusia sebaiknya diam.
Dalam kaitannya dengan ilmu bela diri, orang lalu menerjemahkan wuwei. Begini, bila seseorang tak melakukan gerak apa pun, tenaganya kosong, ia tak bisa dijatuhkan. Dirinya akan mirip angin. Bagaimana ceritanya ilmu bela diri tanpa kekuatan otot itu, yang kemudian beramai-ramai dilakukan untuk kesehatan, dipisahkan dari ilmu silat? Tak jelas.
Dalam hal sejarah inilah waitankung menjadi menarik. Orang yang menggali ilmu yang terpendam beribu tahun itu masih hidup, masih bisa diwawancarai. Dengan kata lain, keotentikan sejarah waitankung lebih kurang bisa dijaga.
Waitankung dimunculkan kembali oleh seorang bernama Chang Chih-tung, belum terlalu lama ini. Persisnya, baru mulai 1976 waitankung dimasyarakatkan di Taiwan, dan kemudian, "berkat Allah," kata Chih-tung, yang telah naik haji tujuh tahun lalu, menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia. Di lantai dua sebuah gedung di Jalan Linshen Utara, Taipei, di salah satu kawasan yang ramai, di situlah Yayasan Waitankung dan Neitankung beralamat.
Sebuah ruang sekitar 10 x 5 meter yang kosong, ditambah beberapa kamar yang penuh dengan tumpukan kertas, kardus, beberapa lampion merah. Lalu kotak-kotak kaca berisi suvenir boneka atau piring perak berukir. Tentu saja, sejumlah kursi dan meja. Memang mirip toko kelontong. Juga mirip markas sebuah perguruan silat, meski tak tampak pedang, golok, atau tombak, yang biasa digunakan latihan bela diri.
Ruang kosong, yang di salah satu pinggirnya berdiri tegak patung telanjang seorang laki-laki dewasa dengan titik-titik akupungtur di sekujur tubuhnya, itu memberi kesan tentulah ada semacam latihan silat di sini. Malam itu, 28 Desember lalu, beberapa orang hadir di situ untuk menemui suhu waitankung.
Ada seorang Prof. Dr. Song Chang-ki, guru besar sinolog di Universitas Kookmin, Seoul, Korea Selatan. Ia ternyata pimpinan waitankung di negaranya, dan sudah enam tahun mempraktekkan waitankung. "Saya tak pernah sakit, bahkan flu pun tidak," katanya. Lalu ada beberapa peminat waitankung dari Jepang dan Indonesia.
Haji Chang Chih-tung duduk di sebuah ruangan yang berantakan dengan barang-barang yang tadi disebutkan. Pembawaannya tenang, matanya sipit, dengan dahi yang agak lebar, dan rambut tipis tersisir rapi dengan belahan di sebelah kiri. Meja di depannya penuh kertas-kertas bertuliskan huruf Kanji, dan sebuah teko tanah liat berisi air teh . Kancing atas kaus lengan panjangnya, yang berwarna biru itu, terbuka. Dengan tubuhnya yang gemuk tapi kekar dan sehat, mungkin ia sedikit kepanasan di ruang bersuhu sekitar 15� Celsius itu.
Di kursi di belakang tempat duduknya, sebuah sajadah merah bergambar masjid tersampir di sandaran. Dengan lancar, tapi dengan suara yang tetap terjaga, hampir tanpa ekspresi - susah untuk mengatakan apakah ia berbicara dengan gembira atau biasa-biasa saja - orang yang menggali kembali waitankung itu menceritakan ihwal senam yang dilakukan hampir tanpa kekuatan ini.
Dengan beberapa pendamping sebagai penerjemah, wawancara ini memang lalu berlangsung agak lama, hampir tiga jam.
Tahun 1949, terjadi pelarian besar-besaran kaum Koumintang dari Cina Daratan ke Taiwan. Salah seorang di antara rakyat biasa yang hengkang itu adalah Chang Chih-tung. Pemuda 28 tahun itu menempuh perjalanan darat dan laut dengan apa saja. Baik jalan kaki, menumpang kereta, maupun naik perahu. Dan tanpa bekal sepeser pun, hingga untuk makan saja, umpamanya, perlu menunggu belas kasih orang.
Tentu, nasib ini tak cuma dideritanya sendiri. Yang lain-lain pun, yang mengungsi itu, banyak yang tak beda dari dia. Chih-tung, anak tunggal Chang Hun-shin, salah seorang komandan pasukan Kerajaan Ching, waktu itu sudah pendekar. Sejak usia 7 tahun, karena badannya lemah, oleh orangtuanya ia dimasukkan ke perguruan Shaolin. Bukan hanya badannya yang kemudian sehat, tapi pada usia 20-an tahun Chih-tung jadi pendekar yang lumayan ilmunya, karena akhirnya ia berguru silat kepada banyak pendekar.
Karena ilmu bela diri itulah yang benar-benar ia kuasai, di Taiwan ia pun memilih kerja sebagai guru olah raga sebuah sekolah dasar di sebuah desa, sambil membuka perguruan silat. Meski mula-mula ia belajar silat Shaolin, Chih-tung lebih cocok dengan silat Tao, dan itulah yang diajarkannya.
Penyakit memang tak pandang apakah seseorang guru silat atau bukan. Di usia menjelang 30 itu, penyakit lama Chih-tung kambuh. Mungkin ia bekerja terlalu berat, sedangkan makannya tak teratur "Gaji saya cuma cukup untuk seminggu, waktu itu." - malaria menyerangnya dengan hebat. "Rambut saya rontok," katanya. "Tapi waktu itu saya belum mau mati." Bukan karena usianya masih muda, tapi ada sebab yang lain.
Yakni, sebagai Muslim satu-satunya di desa itu, ia khawatir bila mati orang tak akan menguburkannya secara Islam.
Di masa awal Republik Cina, apalagi di pedesaan, sungguh berat nasib Chih-tung: obat-obatan langka. Akhirnya, di batas keputusasaannya, ia ingat sebuah buku pemberian pamannya, sebelum ia lari ke Taiwan. Buku itu, kata pamannya, sejenis kungfu juga, tapi lebih merupakan senam kesehatan berdasarkan ajaran Tao dan ilmu pengobatan tradisional Cina.
Namanya, ya itulah, waitankung. Di tengah malam, di balai pertemuan desa (ia memang tidur di situ), Chih-tung mempraktekkan waitankung. Sebagai orang yang telah lama berlatih taichi, ia tak mengalami kesulitan melakukan waitankung. Tapi yang dialaminya sungguh aneh. Gerak-gerak pertama dari waitankung, yang terdiri dari 12 jurus itu, mengakibatkan kepalanya pusing. Tiba-tiba otot-ototnya terasa sakit, pandangannya kabur bahkan lalu gelap. Ia takut pingsan, latihan dihentikannya. Malam berikutnya ia mencobanya lagi.
Reaksi tambah hebat. Selain rasa sakit seperti hari kemarin, kini ditambah perutnya terasa kejang, telinga tuli. Pada hari ketiga, semua yang dialami malam sebelumnya masih tetap muncul bahkan ada yang baru : rasa mual yang hebat. Karena keingintahuannya, ditambah keputusasaannya untuk sembuh dari malaria, ia terus mempraktekkan waitankung. Bila tak kuat lagi menahan reaksi yang muncul, ia berhenti. Baru di hari ke-9 rasa mual dan sakit-sakit tak lagi muncul.
Sebagai gantinya, terasa ada aliran hangat menjalar dari tangan, ke kaki, lalu naik ke seluruh tubuh. Tiba-tiba ia merasakan nyaman di sekujur tubuhnya. Setelah beberapa hari mempraktekkan ilmu lama itu, badannya bertambah segar. Akhirnya, ia kuat melakukan waitankung selama 40 menit tiap hari. Malarianya pun sembuh, tanpa obat. Dan kemampuannya bersilat seperti makin mantap, tenaganya bertambah, dan tubuhnya tak cepat capek.
Berbulan, bahkan bertahun kemudian, sakitnya tak lagi pernah kambuh. Justru orang kelahiran Tienjin, Provinsi Hubei, pada 1 Desember 1920, ini makin sehat. Mulailah ia berpikir untuk, selain mengajar silat, juga menularkan senam waitankung.
Tapi Chih-tung masih waswas, jangan-jangan ada akibat yang tak ia ketahui, yang justru merusakkan kesehatan, mengingat reaksi yang muncul ketika ia pertama-tama mempraktekkan senam itu. Itu sebabnya, untuk beberapa tahun, ia hanya mempraktekkan waitankung untuk diri sendiri.
Suatu hari di tahun 1965, setelah sekitar 15 tahun Chih-tung melakukan waitankung. Seperti biasa, sehabis salat subuh, ia melakukan latihan silat dan waitankung. Tapi hari itu ia tak langsung menjalankan jurus-jurus. Di balai desa itu ia duduk bersila menghadap ke barat. Memang ada yang sedang dipikirkannya. Pada usia 45 tahun, masih membujang (dan akhirnya sampai hari ini memang ia tetap hidup sendiri), ia ingin melakukan sesuatu yang berguna.
Perguruan silatnya memang lumayan besar. Tapi ia tak yakin terhadap manfaat silat di zaman perang tak lagi memakai pedang dan tombak, melainkan senjata api yang semakin canggih. Ajaib, ketika di luar tanah pun belum terang, seseorang tiba-tiba masuk dan berdiri di hadapannya. Orang itu, tak jelas bangsa apa, bersurban kepalanya, tapi berbicara dalam bahasa Mandarin.
Tanpa memperkenalkan diri siapa dia, langsung saja orang itu memerintahkan agar Chih-tung menyebarluaskan waitankung, bila ingin berguna di dunia. Chih-tung, begitu ia bertutur, antara percaya dan tidak, lalu mengucapkan kalimat syahadat. Dan orang itu lalu lenyap. Kelak, ketika ia naik haji percaya atau tidak - sekali lagi orang bersurban itu muncul . Bisa jadi itu sebuah ilham. Dan akhirnya bujangan itu memang membubarkan perguruan silatnya, dan menggantinya dengan senam waitankung, pada 1976.
Bila ia masih membutuhkan waktu 11 tahun untuk mulai mengajarkan waitankung, ada sebabnya. Buku warisan pamannya sebenarnya tidak komplet. Ada beberapa halaman yang robek, ketika terjadi serangan angin topan di desa itu. Untuk menemukan sambungan gerak yang hilang itulah, Chih-tung membutuhkan waktu lama : dengan praktek, dengan berpikir.
Terima kasih Anda terlah membaca artikel ini. Semoga bermanfaat…Dan terima kasih bagi Anda yang telah berkenan meng - "Klik" iklan adsense di blog ini, sebagai donasi untuk keberlangsungan blog ini agar masih tetap bisa menghadirkan artikel-artikel yang bermanfaat. Aamiin. Alhamdulillahirabbil'alamiin.
Semoga kebaikan Anda mendapat balasan yang luas dari Allah SWT. Aamiin. Alhamdulillahirabbil'alamiin.
Bersambung di Bag - 2 nya Disini !
Purworejo, Edisi Revisi, 18 Februari 2023
Salam Penulis,
NiniekSS
Disalin Oleh : NiniekSS
Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1987/01/24/SEL/mbm.19870124.SEL33159.id.html
Labels:
LAIN-LAIN
Thanks for reading SENAM WAITANKUNG (Bag-1). Please share...!
selamat pagi...
BalasHapusmakasih artikelnya...membantu banget,,
semoga makin sukses...
apakah senam jenis ini memerlukan baju senam aerobik seperti senam lainya??